Isnin, 30 Januari 2012

Review based on a production Canon EOS 600D with Firmware 1.0.0

Ever since Canon introduced its original 'Digital Rebel' back in August 2003 - famously the first 'affordable' digital SLR - the company has continually developed and refined its entry-level line with ever-more-frequent releases, adding in more and more features in the process. So true to form, almost precisely a year to the day after the advent of the EOS Rebel T2i / 550D Canon launched its next model, predictably named the EOS Rebel T3i / 600D. As usual the 550D remains in Canon's range at a lower price point, with the EOS 1100D slotting in beneath it to round off the company's offerings to entry-level SLR users.
The new kid on the block can most succinctly be described as a 550D with an articulated screen, that also incorporates many of the beginner-friendly features we first saw on the more enthusiast-orientated EOS 60D. Perhaps most notable of these is 'Basic+', a simple, results-orientated approach to image adjustments in the scene-based exposure modes, that allows the user to change the look of their images and control background blur without needing to know anything technical about how this all works. The 600D also gains multi-aspect ratio shooting (in live view) plus the 60D's 'Creative Filters', a range of effects than can be applied to images after shooting, including toy camera, fisheye and fake-miniature looks. Additionally it can now wirelessly control off-camera flashes, including the Speedlite 320EX and 270EX II announced alongside it.
The fully-automatic 'green square' exposure mode has also been updated to 'Scene Intelligent Auto', with a new 'A+' icon on the mode dial to match. According to Canon, this mode (as its name might suggest) now analyses the scene in front of the camera and sets its exposure and image-processing parameters accordingly, and even tweaks the colour output to match. Continuing the 'beginner-friendly' theme, the camera now also incorporates a 'Feature Guide', that displays short explanations of what each function does on the screen to help beginners learn how things work.
There's an intriguing 'Video Snapshot' movie mode too, that's borrowed from Canon's camcorder range. This is based on the idea that movies are often more interesting when stitched together from a number of short 'takes', rather than one long continuous clip. It therefore limits movie recording to short snippets of 2, 4 or 8 seconds, then plays them back sequentially as a composite movie, with the option of adding a soundtrack to help tie them together. This, in effect, allows to you produce complex, multi-take movies without having to resort to computer editing.
What hasn't changed at all, though, is the camera's core specification, making the 600D the first camera in the line that hasn't gained a higher resolution sensor or new processor. So Canon's tried-and-trusted 18MP APS-C CMOS sensor is still in place, along with its sensitivity range of ISO 100-6400 (expandable to 12800) and 3.9fps continuous shooting. Likewise the 9-point autofocus and 63 zone metering systems are unchanged. This means that the 600D is unlikely to bring any surprises in terms of image quality.
On the movie front the camera retains its predecessor's approach too, offering full HD recording via a dedicated position on the camera's mode dial, with full manual control available for those who want it. There's a new digital zoom function, offering 3 - 10x magnification, and the 600D also has sound recording level control built-in, with a stereo sound meter to help judge the right setting.
Put this all together, and it's clear that the 600D is an extremely well-featured little camera that's well beyond the traditional stripped-down 'entry level' fare, and indeed gives little away in terms of features compared to the EOS 60D (the differences are mainly in terms of ergonomics and handling). It's also clearly aiming to make life as easy as possible for SLR newcomers to jump onboard and start experimenting with creative controls, while offering plenty of room to learn and develop their skills. But there's an awful lot of competition in this market space at the moment, and the 600D will have its work cut out to stand apart from the crowd and tempt potential buyers away from the small, sleek and lightweight mirrorless models that will sit alongside it on the dealers' shelves. Read on to find out how well it fares in this competitive market.

A brief history; Canon entry level digital SLR series

Headline / New features
  • 18 Megapixel APS-C CMOS sensor
  • DIGIC 4 processor with ISO 100-6400 (Expansion to 12800)
  • Fully articulated 7.7cm (3.0”) 3:2 Clear View LCD with 1,040k dots
  • Full HD movie recording with manual control and selectable frame rates
  • Digital zoom in movie mode (3x - 10x)
  • New 'Scene Intelligent Auto' exposure mode (replacing full auto)
  • 'Basic+' and 'Creative Filters'
  • Integrated wireless flash control
  • 'Video Snapshot' mode for the creation of multi-take movies

Kenapa Ilmu Hakikat Susah Untuk Dipelajari

Assalamualaikum. Pertama2, tulisan ini bukanlah dibuat oleh saya, tetapi telah pun di copy dari berbagai laman web. Jadi, saya hanya copy dan paste kan saja sebagai renungan kita semua bersama.

Credit goes to original poster. -Kain Putih dan paranorms


Terjadi suatu peristiwa, seorang pemuda telah bertanya kepada guru tasawufnya tentang perbezaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam dan kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas. Kemudian sang guru berkata..

“Untuk aku menjawab soalanmu itu wahai muridku, pergilah bertanya kepada kedua mereka akan dua persoalan ini iaitu yang pertama, adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya? Pergilah ke kampung sebelah kerana disana kamu akan menemui ulama syariat dan ulama hakikat. Bertanyalah kepada orang-orang kampung disana untuk mencari mereka.”

Akur atas arahan gurunya itu lantas si pemuda tanpa banyak bicara terus ke rumah ulama syariat yang terkenal dikampung sebelah dengan bertanya-tanya arah rumahnya kepada orang kampung. Sesampainya si pemuda itu dirumah ulama syariat tersebut dengan ramah mesra si pemuda diajak masuk ke dalam rumah yang serba sederhana itu. Sang ulama syariat kelihatan kemas berjubah putih dan berserban, ditambah raut wajahnya yang bersih tanda beliau seorang yang soleh. Si pemuda dilayan seperti anak sendiri dengan dijamu makan malam sebelum sesi dialog dijalankan. Usai makan malam terus sahaja sang ulama syariat memulakan bicara.

“Ada urusan apa sehingga kamu bertandang ke rumah saya ini wahai anak muda?”

Tanya sang ulama syariat dengan nada yang redup.

“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz. Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”

Setelah diam sejenak lalu sang ulama syariat menarik nafas dalam-dalam dan dengan tenang memberikan jawapannya.

“Ya, Allah itu memang berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah wajib.”

Setelah mendapatkan jawaban daripada ulama syariat itu maka pemuda itu pulang sambil hatinya berazam untuk bertemu dengan ulama hakikat pula. Keesokkan harinya si pemuda mula merayau-rayau dikampung itu untuk mencari sang ulama hakikat. Puas bertanya dengan orang kampung maka tengah hari itu si pemuda bertemu dengan seorang makcik yang akhirnya bersetuju menunjukkan beliau dimana sang ulama hakikat berada.

Sesampainya ditempat yang dituju kelihatan seorang lelaki tua sedang membersihkan halaman rumahnya yang luas dihiasi taman bunga yang cantik. Rumahnya begitu besar dan mewah. Sang ulama hakikat yang berkulit gelap itu kelihatan memakai pakaian yang agak lusuh berbanding rumahnya yang begitu mewah. Sudah sepuluh minit si pemuda berbual-bual ringan dengan sang ulama hakikat namun kelihatan seolah-olah tiada tanda-tanda sang ulama hakikat mahu menjemput beliau masuk ke dalam rumahnya yang mewah itu.

“Ada apa urusan nak jumpa saya ini?”

Tanya sang ulama hakikat itu sambil tersenyum. Kemudian si pemuda bertanyakan soalan yang sama sebagaimana yang ditanyakan kepada sang ulama syariat.

“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz. Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”

Kelihatan sang ulama hakikat tersenyum sahaja mendengar soalan itu lantas dengan tahkik beliau menjawab..

“Wahai anak muda ketahuilah yang sebenarnya bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram.”

Terperanjat besar si pemuda mendengar jawapan sang ulama hakikat yang bersahaja itu. Sukar rasanya si pemuda mahu menghadam jawapan yang baru disampaikan kepadanya itu. Tanpa berlengah-lengah maka si pemuda itu mohon undur diri kemudian pulang ke rumahnya dengan seribu persoalan yang berlegar-legar dibenak kepalanya.

Sebagai seorang muslim taat yang baru hendak menjinak-jinakkan diri dengan dunia tasawuf, si pemuda berasa keliru dengan jawaban yang diberikan oleh sang ulama hakikat. Setahu beliau pelajaran tasawuf itu bersangkutan dengan ilmu hakikat dan ma’rifat. Mendengar jawapan daripada sang ulama hakikat itu membuatkan si pemuda berasa takut untuk meneruskan pelajaran tasawuf dengan gurunya dan mengambil keputusan untuk tidak lagi berguru dengan guru tasawufnya lantas mengambil keputusan untuk berguru dengan sang ulama syariat. Beliau mulai meragui perjalanan ilmu hakikat dan dalam hati beliau bergumam..

“Kalau nak dibandingkan dari segi akhlak pun akhlak sang ulama syariat lebih bagus daripada akhlak sang ulama hakikat. Walaupun sang ulama syariat hidup dalam keadaan sederhana namun aku dijemput masuk ke dalam rumahnya lantas dijamu dengan makanan yang enak berbanding sang ulama hakikat yang kedekut.. sudahlah tidak dijemput masuk ke dalam rumahnya, setitik air pun tidak diberinya malah dengan dirinya sahaja pun sudah kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”

Keesokkannya, si pemuda dengan tergesa-gesa menuju ke rumah sang ulama syariat dan menceritakan kepada beliau hasil dialognya dengan sang ulama hakikat. Mendengar penjelasan si pemuda, sang ulama syariat berasa marah lantas mengarahkan anak-anak muridnya untuk menangkap sang ulama hakikat. Maka dengan sekejap sahaja penduduk kampung itu digemparkan dengan cerita bahawa sang ulama hakikat itu telah membawa ilmu sesat dikampung itu.

Sang ulama hakikat dapat ditangkap dengan bantuan orang-orang kampung. Tangannya diikat dibelakang lalu dipaksa untuk berjalan. Kelihatan terdapat segelintir dari orang-orang kampung yang bertindak memukul muka dan badan beliau serta tidak kurang juga ada yang melempari beliau dengan batu-batu kecil kerana tidak dapat menahan rasa marah. Pun begitu sang ulama hakikat tetap berdiam namun air matanya tak henti-henti mengalir. Mungkin beliau menahan sakit.

Tiba dihalaman rumah sang ulama syariat lalu dengan kasar tubuh sang ulama hakikat yang sudah tua itu ditolak dengan keras lantas beliau terdorong ke depan lalu jatuh tersungkur. Si pemuda yang sedari tadi menunggu dirumah sang ulama syariat terkejut dengan situasi itu. Beliau tidak menyangka sampai begitu malang nasib yang menimpa sang ulama hakikat sehingga diperlaku begitu. Namun apalah dayanya untuk mengekang kemarahan orang-orang kampung yang sedang meluap-luap itu. Kemudian setelah meredakan suasana, sang ulama syariat menghampiri sang ulama hakikat lalu bertanya kepada beliau..

“Benarkah anda menjawab ‘Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram’ sebagai menjawab pertanya pemuda ini?” sambil jari telunjuknya diarahkan tepat pada si pemuda.

Dengan tenang sang ulama hakikat menjawab “Ya”.

Kemudian sang ulama syariat bertanya lagi.

“Adakah anda masih dengan pendirian anda atau anda mahu bertaubat?”

Tanya sang ulama syariat tegas. Lalu dijawab dengan tenang oleh sang ulama hakikat..

“Untuk kesalahan yang mana lalu saya perlu bertaubat wahai hakim?”

“Untuk kesalahan anda yang mengatakan Allah tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya haram!”

“Oh begitu.. beginilah tuan hakim, pada saya jawapan saya itulah yang teramat benar namun jika tuan hakim tidak menyetujuinya tidak apa-apa dan terserahlah kepada kebijaksanaan tuan hakim untuk mengadili saya kerana tuan adalah hakim dinegeri ini.”

Habis sahaja sang ulama hakikat berkata begitu lantas beliau dilempari dengan puluhan sepatu oleh penduduk kampung dan ada juga yang berteriak agar beliau dibunuh. Sang ulama syariat terdiam dan merenung dalam seolah-olah memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya sang ulama syariat membuat keputusan agar sang ulama hakikat diberi tempoh sehingga esok untuk bertaubat dan jika tidak beliau akan dihukum bunuh. Setelah itu sang ulama hakikat diikat pada sebatang pokok nangka yang berada dihalaman rumah sang ulama syariat dalam posisi duduk menghadap kiblat sambil dikawal oleh beberapa orang-orang kampung.

Kini, saatnya pun telah tiba namun sang ulama hakikat tetap tidak mahu bertaubat daripada pendiriannya. Ramai yang merasa pelik dengan pendirian sang ulama hakikat dan yang lebih kusut lagi ialah fikiran si pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda merasa kasihan dan merasa bersalah mengenang keadaan malang yang menimpa sang ulama hakikat adalah hasil daripada perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Perlahan-lahan si pemuda mendekati sang ulama hakikat untuk memohon maaf. Aneh.. kelihatan sang ulama hakikat itu hanya tersenyum dan dengan senang hati mahu memaafkan si pemuda. Ketika si pemuda itu mahu beredar tiba-tiba ia mendengar sang ulama hakikat membacakan sepotong ayat Al Quran dengan nada yang riang..

“Wa qul jaa alhaq wazahaqol baathil innal baathila kana zahuuqo.”

Ucap beliau berulang-ulang sambil memandang kearah seseorang lantas mukanya tiba-tiba kelihatan berseri-seri dalam senyuman yang menggembirakan. Si pemuda lantas menoleh kearah orang itu dan apa yang beliau lihat ialah kelibat bekas guru tasawuf beliau diantara celahan penduduk kampung yang ingin menyaksikan hukuman pancung yang bakal dijalankan. Tak lama kemudian hukuman bunuh pun dilaksanakan maka tamatlah riwayat sang ulama hakikat dibawah mata pedang sang algojo. Seluruh penduduk kampung bersorak gembira tanda kemenangan dipihak mereka yang berjaya membunuh seorang pembawa ajaran sesat.

Selang beberapa hari oleh kerana rasa ingin tahu yang meluap-luap maka si pemuda bersegera mengadap bekas guru tasawufnya. Si pemuda berasa hairan mengapa sang ulama hakikat membacakan ayat 81 daripada surah al-Isra’ seraya melihat kelibat bekas guru tasawufnya itu?.

“Wahai muridku, marilah duduk dihadapanku ini.”

Ujar guru tasawuf seraya melihat kedatangan muridnya itu. Si pemuda terkedu.. tidak tahu apa yang hendak dikatakan. Fikiran terasa kosong dan segala persoalan yang hendak diajukan terasa tiba-tiba hilang entah tertinggal dimana.

“Baiklah muridku, atas persoalanmu yang dahulu itu maka akan aku jawab sekarang ini.”

Lembut sahaja bicaranya.

“Adapun persoalanmu tentang perbezaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam akan aku jawab seperti berikut. Yang pertama, orang syariat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu syariat manakala orang hakikat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu hakikat. Jawaban sang ulama syariat adalah benar menurut ‘bahasa’ ilmu syariat dan jawaban sang ulama hakikat juga benar menurut ‘bahasa’ ilmu hakikat.”

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Begini… adalah benar apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa Allah itu tidak berkuasa sebab melalui peraturan ilmu hakikat, perkataan ‘Allah’ itu adalah dirujuk semata-mata sebagai isim bagi zat tuhan kita sahaja. Ini bermakna yang berkuasa pada hakikatnya adalah zat tuhan kita dan bukannya yang berkuasa itu isimNya. Perkataan ‘Allah’ itu pada hakikatnya adalah gelar bagi zat tuhan kita. Adapun gelaran itu hakikatnya adalah khabar maka khabar tiada ain wujud. Jika sesuatu itu tiada ain wujudnya maka mustahil dikatakan ia mempunyai kuasa. Adakah kamu faham?”

Si pemuda mengangguk lemah sambil merenung lantai.

“Adalah sesuatu yang benar juga apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa sembahyang itu hukumnya adalah haram.”

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Begini… sebenarnya tiada ibadat sembah-menyembah dalam agama Islam namun yang ada Cuma ibadat solat. Ya, ianya adalah solat dan bukannya sembahyang. Cuba kamu fahamkan betul-betul maksud firman Allah dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang bermaksud “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku”. Ini menunjukkan cara ibadat orang kafir tidak sama langsung dengan cara ibadat orang muslim. Perkataan sembahyang itu adalah asalnya terbit daripada upacara ibadat masyarakat hindu-budha untuk menyembah tuhan yang bernama Hyang. Maka upacara ibadat itu dinamakan upacara sembahHyang. Solat itu bukan sembah dan tuhan kita bukannya Hyang tetapi Allah. Jadi kita sebagai orang muslim adalah haram sembahHyang kerana itu adalah ibadat penganut hindu-budha. Sesungguhnya solat itu bukan sembah tetapi solat itu ialah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang bermaksud, “Apabila seseorang kamu sedang solat sesungguhnya dia sedang berbicara dengan tuhannya…”.

Si pemuda semakin tertunduk.

“Jadi, adakah kamu sudah faham mengapa sang ulama hakikat itu berkata bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram?”

“Ya tuan guru, sekarang barulah jelas.”

“Yang kedua, orang-orang syariat mempelajari ilmu-ilmu hukum maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan hukum sementara orang-orang hakikat mempelajari ilmu-ilmu ma’rifatullah maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan Allah.”

Ketika ini lamunan si pemuda menyorot kembali peristiwa yang telah berlaku dimana kata-kata guru tasawuf itu ada benarnya juga. Memang benar sang ulama syariat telah menyelesaikan masalah yang berlaku dengan hukuman bunuh terhadap sang ulama hakikat sedang sang ulama hakikat menyelesaikan masalah antara dia dan si pemuda itu dengan kemaafan sesuai dengan sifat tuhan yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

“Adapun persoalanmu tentang kenapa ilmu hakikat tidak berkembang-luas maka akan aku jawab seperti berikut. Tidak berkembang-luasnya ilmu hakikat adalah disebabkan masih adanya orang-orang yang seperti kamu!”

Bentak sang guru tasawuf yang membuatkan darah si pemuda berderau.

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Kerana kejahilan kamu dalam memahami hal-ehwal hakikat terus sahaja kamu tanpa usul periksa menghukum sang ulama hakikat sebagai tidak betul dan berburuk sangka terhadap beliau lalu kamu memfitnahi beliau dihadapan sang ulama syariat sehingga sang ulama hakikat tertangkap lalu diseksa dan dipancung oleh kalian. Jika semua ulama hakikat sewenang-wenangnya dibunuh tanpa usul periksa justeru kerana itulah ilmu hakikat tidak berkembang-luas.”

“Tapi tuan guru, bagaimana saya tidak terkhilaf sedang akhlak sang ulama hakikat itu tidak mencerminkan beliau sebagai orang yang beragama! Sang ulama hakikat langsung tidak menjemputku masuk ke dalam rumahnya yang besar lagi mewah itu dan langsung tidak memberiku walau setitik air bahkan dengan dirinya sahaja pun amat kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”

“Awas lidahmu dalam berkata-kata wahai anak muda! Telahku katakan tadi bahawa kamu memiliki sifat buruk sangka. Ketahuilah bahawa rumah besar lagi mewah yang kamu lihat itu bukanlah milik sang ulama hakikat tersebut sebaliknya adalah milik majikan beliau dan beliau hanya mengambil upah sebagai tukang kebun disitu. Adapun pakaiannya yang lusuh itu maka itu sahajalah harta benda yang beliau ada dan beliau hidup hanya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.”

“Bagaimana tuan guru boleh tahu segala yang terperinci tentang sang ulama hakikat itu?”

Tanya si pemuda hairan.

“Kerana orang yang kalian bunuh itu adalah guru tasawufku maka dengan itu sebutir lagi permata yang indah telah hilang. Telahku jawab semua persoalanmu maka pergilah kamu kepangkuan guru syariatmu iaitu sang ulama syariat.”

Si pemuda itu terkejut lantas berkata…

“Tapi wahai guruku, aku telah insaf dan ingin kembali berguru denganmu wahai guruku.. terimalah aku kembali wahai guruku!!”

“Ketahuilah wahai anak muda, aku enggan mengambilmu adalah semata-mata kerana keselamatanmu dan bukan kerana aku membencimu.”

“Aku tidak faham akan maksud tuan guru??”

“Pergi sahajalah kembali kepangkuan sang ulama syariat kerana kamu akan selamat disana dan jangan kamu sesekali mengaku aku adalah gurumu kelak kamu akan mengerti akan maksud tindakanku ini.”

Dengan hati yang berat dan sayu si pemuda berjalan menuju ke rumah sang ulama syariat untuk berguru dengannya dan beliau diterima sebagai murid. Selang beberapa hari, keadaan kampung tiba-tiba kecoh kembali. Dengar khabarnya seorang lagi pengamal ilmu sesat telah ditangkap dan kali ini pengamal ajaran sesat itu berasal dari kampung sebelah. Dari kejauhan kelihatan berbondong-bondong orang ramai sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sang ulama syariat sambil menyungsung seorang lelaki yang telah dikenalpasti sebagai pengamal atau guru ajaran sesat. Dari jauh si pemuda dapat saksikan lelaki itu dipukul dan ditendang malah ada yang membalingnya dengan batu-batu kecil sehingga pakaiannya koyak-rabak. Rupa-rupanya lelaki yang pakaiannya telah koyak-rabak itu adalah sang guru tasawufnya.

Maka mengertilah si pemuda itu akan maksud tindakkan sang guru tasawuf yang tidak mahu mengambil beliau sebagai anak murid dan beliau hanya mampu mengalirkan air mata sambil menahan sebak melihat sang guru tasawuf itu diperlakukan seperti itu. Esoknya hukuman pancung terhadap sang guru tasawuf itu dilaksanakan maka sebutir lagi permata yang indah telah hilang sirna dari negeri itu……… Didalam hati si pemuda merintih..

“Ya Allah.. berapa ramaikah lagi ahli tasawuf yang mesti dikorbankan semata-mata mahu membuatkan aku mengerti mengapa ilmu hakikat tidak dapat berkembang-luas? Cukup Ya Allah cukup kerana sekarang aku sudah mengerti….”