Khamis, 14 Februari 2013

Sibuk memperbaiki diri

Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam bukunya Al Da’wah Al Tammah, mengutip ucapan Sayyidina Al Hasan Al Bashri, terkait meneliti aib diri sendiri. Imam Hasan Al-Bashri berkata, “Engkau tidak akan memperoleh hakikat iman selama engkau mencela seseorang dengan sebuah aib yang ada pada dirimu sendiri. Perbaikilah aibmu, baru kemudian engkau memperbaiki aib orang lain. Setiap engkau memperbaiki satu aibmu, maka akan tampak aib lain yang harus kau perbaiki. Akhirnya kau sibuk memperbaiki dirimu sendiri. Dan sesungguhnya hamba yang paling dicintai Allah adalah dia yang sibuk memperbaiki diri sendiri. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, tidak ada hari seperti hari kiamat, hari dimana aib terbuka dan mata menangis.”Seorang ulama pernah berkata: “Aku tidak menemukan sesuatu yang paling ampuh merontokkan amal, merusak hati, menyeret kepada kebinasaan seorang hamba dan mendekatkan kepada kebencian serta memudahkan masuknya rasa suka kepada sifat pamer (riya’), ujub dan kedudukan selain terwujud pada minimnya pengetahuan seorang hamba akan aib-aib dirinya sendiri sembari melihat keburukan yang ada pada diri orang lain.”Imam Al Ghazali dalam kitabnya yang terkenal,Ihya Ulumuddin,mengetengahkan kiat jitu menyingkap kekurangan yang melekat pada diri kita. Beliau menyarankan untuk menempuh empat cara:Pertama, duduk di hadapan seorang guru yang mampu mengetahui keburukan hati dan berbagai masalah yang tersembunyi di dalamnya. Kemudian ia memasrahkan dirinya kepada sang guru dan mengikuti petunjuknya dalam ber-mujahadah membersihkan aib itu. Ini adalah keadaan seorang murid dengan Syaikhnya dan seorang pelajar dengan gurunya. Sang guru akan menunjukkan aib-aibnya serta cara pengobatannya. Namun, di zaman sekarang guru semacam ini langka.Kedua, mencari seorang teman yang jujur, memiliki bashiroh (mata hati yang tajam) dan berpegang pada agama. Ia kemudian menjadikan temannya itu sebagai pengawas yang mengamati keadaan, perbuatan, serta semua aib batin dan lahirnya, sehingga ia dapat memberi peringatan kepadanya. Demikianlah yang dilakukan oleh orang-orang cerdik, orang-orang terkemuka, dan para pemimpin agama.Ketiga, berusaha mengetahui aib dari ucapan musuh-musuhnya sebab pandangan yang penuh kebencian akan menyingkapkan keburukan seseorang. Bisa jadi manfaat yang diperoleh seseorang dari musuh yang sangat membencinya dan suka mencari kesalahannya lebih banyak dari teman yang suka bermanis muka, memuji dan menyembunyikan aib-aibnya. Akan tetapi, sudah menjadi watak manusia untuk mendustakan ucapan musuh-musuhnya dan menganggapnya sebagai ungkapan kedengkian. Hanya orang yang memiliki mata hati jernih yang mampu memetik pelajaran dari keburukan dirinya yang disebutkan oleh musuhnya.Keempat, bergaul dengan masyarakat. Setiap kali melihat perilaku tercela seseorang, maka ia segera menuduh dirinya sendiri juga memilki sifat tercela itu. Kemudian ia menuntut dirinya untuk segera meninggalkannya. Sebab, seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Ketika melihat aib orang lain ia akan melihat aib-aibnya sendiri.

Isnin, 30 Januari 2012

Review based on a production Canon EOS 600D with Firmware 1.0.0

Ever since Canon introduced its original 'Digital Rebel' back in August 2003 - famously the first 'affordable' digital SLR - the company has continually developed and refined its entry-level line with ever-more-frequent releases, adding in more and more features in the process. So true to form, almost precisely a year to the day after the advent of the EOS Rebel T2i / 550D Canon launched its next model, predictably named the EOS Rebel T3i / 600D. As usual the 550D remains in Canon's range at a lower price point, with the EOS 1100D slotting in beneath it to round off the company's offerings to entry-level SLR users.
The new kid on the block can most succinctly be described as a 550D with an articulated screen, that also incorporates many of the beginner-friendly features we first saw on the more enthusiast-orientated EOS 60D. Perhaps most notable of these is 'Basic+', a simple, results-orientated approach to image adjustments in the scene-based exposure modes, that allows the user to change the look of their images and control background blur without needing to know anything technical about how this all works. The 600D also gains multi-aspect ratio shooting (in live view) plus the 60D's 'Creative Filters', a range of effects than can be applied to images after shooting, including toy camera, fisheye and fake-miniature looks. Additionally it can now wirelessly control off-camera flashes, including the Speedlite 320EX and 270EX II announced alongside it.
The fully-automatic 'green square' exposure mode has also been updated to 'Scene Intelligent Auto', with a new 'A+' icon on the mode dial to match. According to Canon, this mode (as its name might suggest) now analyses the scene in front of the camera and sets its exposure and image-processing parameters accordingly, and even tweaks the colour output to match. Continuing the 'beginner-friendly' theme, the camera now also incorporates a 'Feature Guide', that displays short explanations of what each function does on the screen to help beginners learn how things work.
There's an intriguing 'Video Snapshot' movie mode too, that's borrowed from Canon's camcorder range. This is based on the idea that movies are often more interesting when stitched together from a number of short 'takes', rather than one long continuous clip. It therefore limits movie recording to short snippets of 2, 4 or 8 seconds, then plays them back sequentially as a composite movie, with the option of adding a soundtrack to help tie them together. This, in effect, allows to you produce complex, multi-take movies without having to resort to computer editing.
What hasn't changed at all, though, is the camera's core specification, making the 600D the first camera in the line that hasn't gained a higher resolution sensor or new processor. So Canon's tried-and-trusted 18MP APS-C CMOS sensor is still in place, along with its sensitivity range of ISO 100-6400 (expandable to 12800) and 3.9fps continuous shooting. Likewise the 9-point autofocus and 63 zone metering systems are unchanged. This means that the 600D is unlikely to bring any surprises in terms of image quality.
On the movie front the camera retains its predecessor's approach too, offering full HD recording via a dedicated position on the camera's mode dial, with full manual control available for those who want it. There's a new digital zoom function, offering 3 - 10x magnification, and the 600D also has sound recording level control built-in, with a stereo sound meter to help judge the right setting.
Put this all together, and it's clear that the 600D is an extremely well-featured little camera that's well beyond the traditional stripped-down 'entry level' fare, and indeed gives little away in terms of features compared to the EOS 60D (the differences are mainly in terms of ergonomics and handling). It's also clearly aiming to make life as easy as possible for SLR newcomers to jump onboard and start experimenting with creative controls, while offering plenty of room to learn and develop their skills. But there's an awful lot of competition in this market space at the moment, and the 600D will have its work cut out to stand apart from the crowd and tempt potential buyers away from the small, sleek and lightweight mirrorless models that will sit alongside it on the dealers' shelves. Read on to find out how well it fares in this competitive market.

A brief history; Canon entry level digital SLR series

Headline / New features
  • 18 Megapixel APS-C CMOS sensor
  • DIGIC 4 processor with ISO 100-6400 (Expansion to 12800)
  • Fully articulated 7.7cm (3.0”) 3:2 Clear View LCD with 1,040k dots
  • Full HD movie recording with manual control and selectable frame rates
  • Digital zoom in movie mode (3x - 10x)
  • New 'Scene Intelligent Auto' exposure mode (replacing full auto)
  • 'Basic+' and 'Creative Filters'
  • Integrated wireless flash control
  • 'Video Snapshot' mode for the creation of multi-take movies

Kenapa Ilmu Hakikat Susah Untuk Dipelajari

Assalamualaikum. Pertama2, tulisan ini bukanlah dibuat oleh saya, tetapi telah pun di copy dari berbagai laman web. Jadi, saya hanya copy dan paste kan saja sebagai renungan kita semua bersama.

Credit goes to original poster. -Kain Putih dan paranorms


Terjadi suatu peristiwa, seorang pemuda telah bertanya kepada guru tasawufnya tentang perbezaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam dan kenapa ilmu hakikat tidak berkembang luas. Kemudian sang guru berkata..

“Untuk aku menjawab soalanmu itu wahai muridku, pergilah bertanya kepada kedua mereka akan dua persoalan ini iaitu yang pertama, adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya? Pergilah ke kampung sebelah kerana disana kamu akan menemui ulama syariat dan ulama hakikat. Bertanyalah kepada orang-orang kampung disana untuk mencari mereka.”

Akur atas arahan gurunya itu lantas si pemuda tanpa banyak bicara terus ke rumah ulama syariat yang terkenal dikampung sebelah dengan bertanya-tanya arah rumahnya kepada orang kampung. Sesampainya si pemuda itu dirumah ulama syariat tersebut dengan ramah mesra si pemuda diajak masuk ke dalam rumah yang serba sederhana itu. Sang ulama syariat kelihatan kemas berjubah putih dan berserban, ditambah raut wajahnya yang bersih tanda beliau seorang yang soleh. Si pemuda dilayan seperti anak sendiri dengan dijamu makan malam sebelum sesi dialog dijalankan. Usai makan malam terus sahaja sang ulama syariat memulakan bicara.

“Ada urusan apa sehingga kamu bertandang ke rumah saya ini wahai anak muda?”

Tanya sang ulama syariat dengan nada yang redup.

“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz. Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”

Setelah diam sejenak lalu sang ulama syariat menarik nafas dalam-dalam dan dengan tenang memberikan jawapannya.

“Ya, Allah itu memang berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah wajib.”

Setelah mendapatkan jawaban daripada ulama syariat itu maka pemuda itu pulang sambil hatinya berazam untuk bertemu dengan ulama hakikat pula. Keesokkan harinya si pemuda mula merayau-rayau dikampung itu untuk mencari sang ulama hakikat. Puas bertanya dengan orang kampung maka tengah hari itu si pemuda bertemu dengan seorang makcik yang akhirnya bersetuju menunjukkan beliau dimana sang ulama hakikat berada.

Sesampainya ditempat yang dituju kelihatan seorang lelaki tua sedang membersihkan halaman rumahnya yang luas dihiasi taman bunga yang cantik. Rumahnya begitu besar dan mewah. Sang ulama hakikat yang berkulit gelap itu kelihatan memakai pakaian yang agak lusuh berbanding rumahnya yang begitu mewah. Sudah sepuluh minit si pemuda berbual-bual ringan dengan sang ulama hakikat namun kelihatan seolah-olah tiada tanda-tanda sang ulama hakikat mahu menjemput beliau masuk ke dalam rumahnya yang mewah itu.

“Ada apa urusan nak jumpa saya ini?”

Tanya sang ulama hakikat itu sambil tersenyum. Kemudian si pemuda bertanyakan soalan yang sama sebagaimana yang ditanyakan kepada sang ulama syariat.

“Sebenarnya saya ingin mendapatkan jawapan diatas dua persoalan yang ingin saya ajukan berkenaan dengan agama Islam kita ini kepada ustaz. Soalannya ialah adakah Allah itu berkuasa dan yang kedua, sembahyang itu apa hukumnya?”

Kelihatan sang ulama hakikat tersenyum sahaja mendengar soalan itu lantas dengan tahkik beliau menjawab..

“Wahai anak muda ketahuilah yang sebenarnya bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram.”

Terperanjat besar si pemuda mendengar jawapan sang ulama hakikat yang bersahaja itu. Sukar rasanya si pemuda mahu menghadam jawapan yang baru disampaikan kepadanya itu. Tanpa berlengah-lengah maka si pemuda itu mohon undur diri kemudian pulang ke rumahnya dengan seribu persoalan yang berlegar-legar dibenak kepalanya.

Sebagai seorang muslim taat yang baru hendak menjinak-jinakkan diri dengan dunia tasawuf, si pemuda berasa keliru dengan jawaban yang diberikan oleh sang ulama hakikat. Setahu beliau pelajaran tasawuf itu bersangkutan dengan ilmu hakikat dan ma’rifat. Mendengar jawapan daripada sang ulama hakikat itu membuatkan si pemuda berasa takut untuk meneruskan pelajaran tasawuf dengan gurunya dan mengambil keputusan untuk tidak lagi berguru dengan guru tasawufnya lantas mengambil keputusan untuk berguru dengan sang ulama syariat. Beliau mulai meragui perjalanan ilmu hakikat dan dalam hati beliau bergumam..

“Kalau nak dibandingkan dari segi akhlak pun akhlak sang ulama syariat lebih bagus daripada akhlak sang ulama hakikat. Walaupun sang ulama syariat hidup dalam keadaan sederhana namun aku dijemput masuk ke dalam rumahnya lantas dijamu dengan makanan yang enak berbanding sang ulama hakikat yang kedekut.. sudahlah tidak dijemput masuk ke dalam rumahnya, setitik air pun tidak diberinya malah dengan dirinya sahaja pun sudah kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”

Keesokkannya, si pemuda dengan tergesa-gesa menuju ke rumah sang ulama syariat dan menceritakan kepada beliau hasil dialognya dengan sang ulama hakikat. Mendengar penjelasan si pemuda, sang ulama syariat berasa marah lantas mengarahkan anak-anak muridnya untuk menangkap sang ulama hakikat. Maka dengan sekejap sahaja penduduk kampung itu digemparkan dengan cerita bahawa sang ulama hakikat itu telah membawa ilmu sesat dikampung itu.

Sang ulama hakikat dapat ditangkap dengan bantuan orang-orang kampung. Tangannya diikat dibelakang lalu dipaksa untuk berjalan. Kelihatan terdapat segelintir dari orang-orang kampung yang bertindak memukul muka dan badan beliau serta tidak kurang juga ada yang melempari beliau dengan batu-batu kecil kerana tidak dapat menahan rasa marah. Pun begitu sang ulama hakikat tetap berdiam namun air matanya tak henti-henti mengalir. Mungkin beliau menahan sakit.

Tiba dihalaman rumah sang ulama syariat lalu dengan kasar tubuh sang ulama hakikat yang sudah tua itu ditolak dengan keras lantas beliau terdorong ke depan lalu jatuh tersungkur. Si pemuda yang sedari tadi menunggu dirumah sang ulama syariat terkejut dengan situasi itu. Beliau tidak menyangka sampai begitu malang nasib yang menimpa sang ulama hakikat sehingga diperlaku begitu. Namun apalah dayanya untuk mengekang kemarahan orang-orang kampung yang sedang meluap-luap itu. Kemudian setelah meredakan suasana, sang ulama syariat menghampiri sang ulama hakikat lalu bertanya kepada beliau..

“Benarkah anda menjawab ‘Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram’ sebagai menjawab pertanya pemuda ini?” sambil jari telunjuknya diarahkan tepat pada si pemuda.

Dengan tenang sang ulama hakikat menjawab “Ya”.

Kemudian sang ulama syariat bertanya lagi.

“Adakah anda masih dengan pendirian anda atau anda mahu bertaubat?”

Tanya sang ulama syariat tegas. Lalu dijawab dengan tenang oleh sang ulama hakikat..

“Untuk kesalahan yang mana lalu saya perlu bertaubat wahai hakim?”

“Untuk kesalahan anda yang mengatakan Allah tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya haram!”

“Oh begitu.. beginilah tuan hakim, pada saya jawapan saya itulah yang teramat benar namun jika tuan hakim tidak menyetujuinya tidak apa-apa dan terserahlah kepada kebijaksanaan tuan hakim untuk mengadili saya kerana tuan adalah hakim dinegeri ini.”

Habis sahaja sang ulama hakikat berkata begitu lantas beliau dilempari dengan puluhan sepatu oleh penduduk kampung dan ada juga yang berteriak agar beliau dibunuh. Sang ulama syariat terdiam dan merenung dalam seolah-olah memikirkan sesuatu yang berat. Akhirnya sang ulama syariat membuat keputusan agar sang ulama hakikat diberi tempoh sehingga esok untuk bertaubat dan jika tidak beliau akan dihukum bunuh. Setelah itu sang ulama hakikat diikat pada sebatang pokok nangka yang berada dihalaman rumah sang ulama syariat dalam posisi duduk menghadap kiblat sambil dikawal oleh beberapa orang-orang kampung.

Kini, saatnya pun telah tiba namun sang ulama hakikat tetap tidak mahu bertaubat daripada pendiriannya. Ramai yang merasa pelik dengan pendirian sang ulama hakikat dan yang lebih kusut lagi ialah fikiran si pemuda itu. Tiba-tiba si pemuda merasa kasihan dan merasa bersalah mengenang keadaan malang yang menimpa sang ulama hakikat adalah hasil daripada perbuatannya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Perlahan-lahan si pemuda mendekati sang ulama hakikat untuk memohon maaf. Aneh.. kelihatan sang ulama hakikat itu hanya tersenyum dan dengan senang hati mahu memaafkan si pemuda. Ketika si pemuda itu mahu beredar tiba-tiba ia mendengar sang ulama hakikat membacakan sepotong ayat Al Quran dengan nada yang riang..

“Wa qul jaa alhaq wazahaqol baathil innal baathila kana zahuuqo.”

Ucap beliau berulang-ulang sambil memandang kearah seseorang lantas mukanya tiba-tiba kelihatan berseri-seri dalam senyuman yang menggembirakan. Si pemuda lantas menoleh kearah orang itu dan apa yang beliau lihat ialah kelibat bekas guru tasawuf beliau diantara celahan penduduk kampung yang ingin menyaksikan hukuman pancung yang bakal dijalankan. Tak lama kemudian hukuman bunuh pun dilaksanakan maka tamatlah riwayat sang ulama hakikat dibawah mata pedang sang algojo. Seluruh penduduk kampung bersorak gembira tanda kemenangan dipihak mereka yang berjaya membunuh seorang pembawa ajaran sesat.

Selang beberapa hari oleh kerana rasa ingin tahu yang meluap-luap maka si pemuda bersegera mengadap bekas guru tasawufnya. Si pemuda berasa hairan mengapa sang ulama hakikat membacakan ayat 81 daripada surah al-Isra’ seraya melihat kelibat bekas guru tasawufnya itu?.

“Wahai muridku, marilah duduk dihadapanku ini.”

Ujar guru tasawuf seraya melihat kedatangan muridnya itu. Si pemuda terkedu.. tidak tahu apa yang hendak dikatakan. Fikiran terasa kosong dan segala persoalan yang hendak diajukan terasa tiba-tiba hilang entah tertinggal dimana.

“Baiklah muridku, atas persoalanmu yang dahulu itu maka akan aku jawab sekarang ini.”

Lembut sahaja bicaranya.

“Adapun persoalanmu tentang perbezaan antara orang-orang syariat dan orang-orang hakikat dalam memahami agama Islam akan aku jawab seperti berikut. Yang pertama, orang syariat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu syariat manakala orang hakikat akan menjawab setiap persoalan melalui ‘bahasa’ ilmu hakikat. Jawaban sang ulama syariat adalah benar menurut ‘bahasa’ ilmu syariat dan jawaban sang ulama hakikat juga benar menurut ‘bahasa’ ilmu hakikat.”

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Begini… adalah benar apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa Allah itu tidak berkuasa sebab melalui peraturan ilmu hakikat, perkataan ‘Allah’ itu adalah dirujuk semata-mata sebagai isim bagi zat tuhan kita sahaja. Ini bermakna yang berkuasa pada hakikatnya adalah zat tuhan kita dan bukannya yang berkuasa itu isimNya. Perkataan ‘Allah’ itu pada hakikatnya adalah gelar bagi zat tuhan kita. Adapun gelaran itu hakikatnya adalah khabar maka khabar tiada ain wujud. Jika sesuatu itu tiada ain wujudnya maka mustahil dikatakan ia mempunyai kuasa. Adakah kamu faham?”

Si pemuda mengangguk lemah sambil merenung lantai.

“Adalah sesuatu yang benar juga apabila sang ulama hakikat memberitahu kamu bahawa sembahyang itu hukumnya adalah haram.”

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Begini… sebenarnya tiada ibadat sembah-menyembah dalam agama Islam namun yang ada Cuma ibadat solat. Ya, ianya adalah solat dan bukannya sembahyang. Cuba kamu fahamkan betul-betul maksud firman Allah dalam surah al-Kafirun ayat 6 yang bermaksud “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku”. Ini menunjukkan cara ibadat orang kafir tidak sama langsung dengan cara ibadat orang muslim. Perkataan sembahyang itu adalah asalnya terbit daripada upacara ibadat masyarakat hindu-budha untuk menyembah tuhan yang bernama Hyang. Maka upacara ibadat itu dinamakan upacara sembahHyang. Solat itu bukan sembah dan tuhan kita bukannya Hyang tetapi Allah. Jadi kita sebagai orang muslim adalah haram sembahHyang kerana itu adalah ibadat penganut hindu-budha. Sesungguhnya solat itu bukan sembah tetapi solat itu ialah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yang bermaksud, “Apabila seseorang kamu sedang solat sesungguhnya dia sedang berbicara dengan tuhannya…”.

Si pemuda semakin tertunduk.

“Jadi, adakah kamu sudah faham mengapa sang ulama hakikat itu berkata bahawa Allah itu tidak berkuasa dan sembahyang itu hukumnya adalah haram?”

“Ya tuan guru, sekarang barulah jelas.”

“Yang kedua, orang-orang syariat mempelajari ilmu-ilmu hukum maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan hukum sementara orang-orang hakikat mempelajari ilmu-ilmu ma’rifatullah maka mereka menyelesaikan sesuatu masalah juga dengan Allah.”

Ketika ini lamunan si pemuda menyorot kembali peristiwa yang telah berlaku dimana kata-kata guru tasawuf itu ada benarnya juga. Memang benar sang ulama syariat telah menyelesaikan masalah yang berlaku dengan hukuman bunuh terhadap sang ulama hakikat sedang sang ulama hakikat menyelesaikan masalah antara dia dan si pemuda itu dengan kemaafan sesuai dengan sifat tuhan yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

“Adapun persoalanmu tentang kenapa ilmu hakikat tidak berkembang-luas maka akan aku jawab seperti berikut. Tidak berkembang-luasnya ilmu hakikat adalah disebabkan masih adanya orang-orang yang seperti kamu!”

Bentak sang guru tasawuf yang membuatkan darah si pemuda berderau.

“bagaimana begitu wahai tuan guru?” Tanya si pemuda.

“Kerana kejahilan kamu dalam memahami hal-ehwal hakikat terus sahaja kamu tanpa usul periksa menghukum sang ulama hakikat sebagai tidak betul dan berburuk sangka terhadap beliau lalu kamu memfitnahi beliau dihadapan sang ulama syariat sehingga sang ulama hakikat tertangkap lalu diseksa dan dipancung oleh kalian. Jika semua ulama hakikat sewenang-wenangnya dibunuh tanpa usul periksa justeru kerana itulah ilmu hakikat tidak berkembang-luas.”

“Tapi tuan guru, bagaimana saya tidak terkhilaf sedang akhlak sang ulama hakikat itu tidak mencerminkan beliau sebagai orang yang beragama! Sang ulama hakikat langsung tidak menjemputku masuk ke dalam rumahnya yang besar lagi mewah itu dan langsung tidak memberiku walau setitik air bahkan dengan dirinya sahaja pun amat kedekut. Lihat sahaja pakaiannya yang lusuh itu.”

“Awas lidahmu dalam berkata-kata wahai anak muda! Telahku katakan tadi bahawa kamu memiliki sifat buruk sangka. Ketahuilah bahawa rumah besar lagi mewah yang kamu lihat itu bukanlah milik sang ulama hakikat tersebut sebaliknya adalah milik majikan beliau dan beliau hanya mengambil upah sebagai tukang kebun disitu. Adapun pakaiannya yang lusuh itu maka itu sahajalah harta benda yang beliau ada dan beliau hidup hanya untuk mengabdikan dirinya kepada Allah.”

“Bagaimana tuan guru boleh tahu segala yang terperinci tentang sang ulama hakikat itu?”

Tanya si pemuda hairan.

“Kerana orang yang kalian bunuh itu adalah guru tasawufku maka dengan itu sebutir lagi permata yang indah telah hilang. Telahku jawab semua persoalanmu maka pergilah kamu kepangkuan guru syariatmu iaitu sang ulama syariat.”

Si pemuda itu terkejut lantas berkata…

“Tapi wahai guruku, aku telah insaf dan ingin kembali berguru denganmu wahai guruku.. terimalah aku kembali wahai guruku!!”

“Ketahuilah wahai anak muda, aku enggan mengambilmu adalah semata-mata kerana keselamatanmu dan bukan kerana aku membencimu.”

“Aku tidak faham akan maksud tuan guru??”

“Pergi sahajalah kembali kepangkuan sang ulama syariat kerana kamu akan selamat disana dan jangan kamu sesekali mengaku aku adalah gurumu kelak kamu akan mengerti akan maksud tindakanku ini.”

Dengan hati yang berat dan sayu si pemuda berjalan menuju ke rumah sang ulama syariat untuk berguru dengannya dan beliau diterima sebagai murid. Selang beberapa hari, keadaan kampung tiba-tiba kecoh kembali. Dengar khabarnya seorang lagi pengamal ilmu sesat telah ditangkap dan kali ini pengamal ajaran sesat itu berasal dari kampung sebelah. Dari kejauhan kelihatan berbondong-bondong orang ramai sedang dalam perjalanan menuju ke rumah sang ulama syariat sambil menyungsung seorang lelaki yang telah dikenalpasti sebagai pengamal atau guru ajaran sesat. Dari jauh si pemuda dapat saksikan lelaki itu dipukul dan ditendang malah ada yang membalingnya dengan batu-batu kecil sehingga pakaiannya koyak-rabak. Rupa-rupanya lelaki yang pakaiannya telah koyak-rabak itu adalah sang guru tasawufnya.

Maka mengertilah si pemuda itu akan maksud tindakkan sang guru tasawuf yang tidak mahu mengambil beliau sebagai anak murid dan beliau hanya mampu mengalirkan air mata sambil menahan sebak melihat sang guru tasawuf itu diperlakukan seperti itu. Esoknya hukuman pancung terhadap sang guru tasawuf itu dilaksanakan maka sebutir lagi permata yang indah telah hilang sirna dari negeri itu……… Didalam hati si pemuda merintih..

“Ya Allah.. berapa ramaikah lagi ahli tasawuf yang mesti dikorbankan semata-mata mahu membuatkan aku mengerti mengapa ilmu hakikat tidak dapat berkembang-luas? Cukup Ya Allah cukup kerana sekarang aku sudah mengerti….”

Isnin, 28 Februari 2011

Saman ekor: Ketahui hak anda

Ramai yang masih kabur dan tidak faham hak mereka sebagai rakyat Malaysia. Perlembagaan Persekutuan adalah undang-undang tertinggi Negara. Perlembagaan Persekutuan menjamin hak setiap rakyat Malaysia tanpa mengira agam, kaum, bangsa dan juga fahaman politik. Semua warganegara dijamin hak yang sama.

Salah satu hak yang dijamin oleh Perlembagaan Persekutuan ialah hak rakyat terhadap harta. Ini disebut dalam Perkara 13 Perlembagaan Persekutuan.

Perkara 13 Perlembagaan Persekutuan

Hak terhadap harta. 

(a) Tiada seseorang pun boleh dilucutkan hartanya kecuali mengikut undang-undang. 

(b) Tiada sesuatu undang-undang pun boleh membuat peruntukan bagi mengambil atau menggunakan harta-harta dengan paksa dengan tiada pampasan yang mencukupi.

Selalunya Perkara 13 ini digunakan di dalam kes pengambilan tanah melalui Akta Pengambilan Tanah 1960. Sebenarnya Perkara 13 ini bukan sahaja melibatkan harta tak alih seperti tanah, tetapi meliputi harta alih seperti kenderaan. Justeru penafian hak memperbaharui cukai jalan dan lesen memandu oleh Jabatan Pengangkutan Jalan (JPJ) juga sebenarnya termasuk di dalam penafian hak rakyat terhadap harta. Alasannya jika seseorang rakyat itu dihalang dari memperbaharui cukai jalan kenderaan mereka yang menyebabkan kenderaan itu tidak boleh digunakan maka rakyat itu telah dinafikan haknya terhadap harta.

Jika seseorang rakyat telah dinafikan hak mereka menggunakan harta (kenderaan) mereka tanpa alasan yang berlandaskan peraturan dan undang-undang maka Perkara 13 (b) menyatakan bahawa pampasan hendaklah diberikan. Ini bermaksud jika JPJ menghalang seseorang memperbaharui cukai jalan yang menyebabkan kenderaan tidak boleh digunakan, maka JPJ hendaklah membayar pampasan kepada pemilik kenderaan tersebut.

Hujah ini adalah bersandarkan keputusan kes Leonard Lim Yaw Chiang lwn Director of Jabatan Pengangkutan Jalan Negeri Sarawak yang telah diputuskan pada tahun 2009. Di dalam kes ini, seorang rakyat bernama Leonard Lim Yaw Chiang telah disenarai hitam dan dihalang oleh JPJ Sarawak dari memperbaharui cukai jalan kereta beliau. Beliau telah memohon kepada Mahkamah Tinggi Kuching untuk memutuskan bahawa tindakan JPJ menyenarai hitam dan menghalang beliau memperbaharui cukai jalan adalah salah. Beliau juga memohon gantirugi daripada JPJ di atas kehilangan penggunaan kereta beliau selama kereta tersebut tidak boleh digunakan kerana tiada cukai jalan.

Mahkamah telah memutuskan bahawa JPJ tidak boleh menyenarai hitam kenderaan di atas suatu kesalahan yang belum dibuktikan di Mahkamah. Tindakan JPJ menyenarai hitam diputuskan telah bertentangan dengan Perkara 13 Perlembagaan. JPJ juga telah diarahkan membayar gantirugi kepada pemohon dalam kes itu kerana kesusahan beliau tidak dapat menggunakan kenderaan sehingga terpaksa menyewa kenderaan lain.

Justeru di sini ingin dimaklumkan kepada pemandu-pemandu dan pemilik-pemilik kenderaan yang dinafikan hak mereka memperbaharui cukai jalan dan lesen memandu, bahawa hak anda dilindungi oleh Perlembagaan. Pihak berkuasa tidak boleh sewenang-wenang menafikan hak anda.

Berbalik kepada tawaran Kerajaan memberikan diskaun pembayaran saman sehingga hari ini 28/2/2011. Ingin dimaklumkan bahawa tindakan ini tetap salah. Isu utamanya ialah bukan jumlah bayaran kompaun atau denda itu RM300 atau RM150 atau pun RM50. Isu utamanya adalah, ADAKAH SESEORANG ITU BENAR-BENAR MELAKUKAN KESALAHAN YANG DIDAKWA SEHINGGA MEREKA WAJIB MEMBAYAR DENDA?

Perlu diambil perhatian bahawa untuk menguatkuasakan sesuatu peraturan dan undang-undang, sesebuah pihak berkuasa hendaklah juga mengikut peraturan dan undang-undang. Saman tidak boleh tertunggak. Jika ada yang tertunggak maka ianya bukan saman. Saman hendaklah dikemukakan di Mahkamah. Orang yang disaman (OKS) hendaklah diserahkan saman dan diperintahkan hadir ke Mahkamah untuk menjawap saman itu. Jika OKS mengaku salah maka mahkamah akan memerintahkan OKS itu membayar denda. Jika denda dibayar maka saman itu selesai dan tidak akan tertunggak. Jika saman diserahkan kepada OKS tetapi OKS tidak hadir ke Mahkamah, maka mahkamah akan keluarkan waran tangkap suapaya OKS hadir mahkamah. Maka proses yang sama akan berlaku iaitu OKS akan ditanya mangakui kesalahan atau meminta bicara. Jika mengaku maka akan diarahkan supaya bayar denda bagi saman itu. Maka selesailah saman itu. Tidak tertunggak. Jika tidak mengaku maka akan dibicarakan. Bergantung kepada keputusan mahkamah, jika didapati salah selepas bicara, maka akan diperintahkan untuk bayar denda. Selesai lah saman itu. Jika tidak bersalah maka luput juga samann itu. Tidak tertunggak.

Soalannya kenapa ada saman tertunggak? Jawapannya pertama kerana saman-saman itu tidak pernah dibawa ke Mahkamah. Kedua kerana yang dikatakan saman itu sebenarnya bukan saman tetapi notis sahaja.

Saman Ekor yang dikatakan saman ini sebenarnya bukan saman tetapi sekadar notis kepada pemilik kenderaan meminta maklumat pemandu yang dikatakan memandu melebihi hadlaju. Notis ini juga disertakan tawaran kompaun jika pemilik kenderaan mengaku melakukan kesalahan. Ia dikeluarkan di bawah Seksyen 115 Akta Pengangkutan Jalan 1987 atau dikenalai dengan Notis Pol 170A. Jika pemilik tidak mengaku kesalahan maka kompaun tidak perlu dibayar kerana kompaun itu hanyalah tawaran. Jika pemilik tidak membayar kompaun sepatutnya pemilik disaman supaya hadir ke Mahkamah bagi menjawap tuduhan memandu melebihi hadlaju. Kemudian proses mahkamah yang dijelaskan sebelum ini akan berlaku. Maka saman itu akan selesai dan tidak tertunggak. Masalah timbul apabila pihak berkuasa terus menghukum pemilik supaya membayar kompaun sedangkan kesalahan tidak dibuktikan. Kompaun bukan denda tetapi tawaran. Dendan hanya boleh dikeluarkan dan diarahkan oleh Mahkamah. Bukan Polis dan bukan JPJ. Inilah penyalahgunaan kuasa dan peraturan oleh pihak berkuasa. Mereka bertindak melebihi kuasa yang diberikan. Mereka bertindak sebagai penghukum sedangkan tugas itu hanya ada pada Mahkamah.

Justeru kepada semua rakyat Malaysia, ketahui hak anda, jangan mudah terpedaya dengan tawaran dan penindasan. Gunakan hak anda... TIADA SIAPA BOLEH MEMAKSA ANDA MEMBAYAR SESUATU YANG ANDA TIDAK LAKUKAN. Anda Mampu Mengubahnya. 

Bagaimana JPJ boleh menhalang pembaharuan cukai jalan?

1) Seksyen 17(1)(d) Akta Pengangkutan Jalan 1987 (Pindaan) 2010

JPJ berkuasa menghalang seseorang melakukan apa-apa transaksi termasuk perbaharui cukai jalan tetapi setelah JPJ BERPUASHATI bahawa seseorang ada perkara yang belum selesai dengan JPJ dan Polis.

Bagaimana JPJ hendak BERPUASHATI?

2) Seksyen 17(2) Akta Pengangkutan Jalan 1987 (Pindaan) 2010

JPJ hendaklah memberikan peluang kepada seseorang membuat representasi. Ini bermaksud JPJ hendaklah menjalankan siasatan adakah seseorang itu ada perkara yang belum selesai. Maka semua pihak perlu hadir iaitu pemilik kenderaan, JPJ dan Polis yang mengeluarkan saman. Perlu disiasat adakah saman yang dikatakan ada kepada seseorang itu betul atau tidak. Sudah dibuktikan di mahakamh atau tidak. Jika tidak maka JPJ tidak boleh menyenarai hitam. Inilah maksud BERPUASHATI

3) Seksyen 17(5) Akta Pengangkutan Jalan 1987 (Pindaan) 2010

Jika dihalang daripada perbaharui cukai jalan maka Pengarah JPJ hendaklah maklumkan kepada Ketua Pengarah pengangkutan, di mana Ketua Pengarah hendaklah maklumkan secara bertulis dalam tempoh 14 hari kepada pemilik kenderaan tentang alasan halangan dibuat ke atas pemilik. Adakah notis ini pernah dikeluarkan kepada pemilik?

Jika anda dihalang daripada perbaharui cukai jalan tanpa alasan yang sah anda boleh:

a) Minta alasan bertulis daripada JPJ kenapa anda dihalang.

b) Minta JPJ perbaharui cukai jalan dengan segera jika alasan bertulis itu tidak munasabah dan tidak betul.

c) Jika JPJ enggan mematuhi permintaan anda, anda boleh menyaman/menuntut di Mahkamah untuk gantirugi kehilangan penggunaan kenderaan anda dan kesusahan anda kerana tidak boleh menggunakan kenderaan.

Zulhazmi Shariff ialah Penasihat Undang-Undang Kempen Anti Saman Ekor (KASE)

Ahad, 6 Februari 2011

Salah Faham Terhadap Hudud

Salah faham yang pertama ialah apabila ada menganggap bahawa persoalan Hudud merupakan persoalan yang hanya dikaitkan secara ekslusif dengan golongan ekstrimis Islam. Padahal Hudud merupakan perkara asas dalam persoalan keimanan dan tauhid kepada Allah SWT.  Hukum Hudud telah dinyatakan secara jelas di dalam Quran dan Sunnah. Setiap muslim wajib menerima kewajiban Hudud untuk dilaksanakan di kalangan masyarakat Islam.
Hujjah yang mengatakan bahawa Hudud tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman moden adalah hujjah yang dangkal. Sekiranya Hudud ketinggalan zaman, maka begitu jugalah halnya dengan semua hukum syariat yang lain seperti hukum solat, puasa, haji, nikah kahwin, dan jual beli. Kesemua hukum-hukum ini juga dinyatakan secara jelas oleh Al-Quran dan Sunnah.
Contohnya, lelaki yang adil bukan hanya perlu sebagai saksi-saksi dalam pengendalian kes-kes jenayah Hudud, tetapi juga sebagai wali nikah dan imam solat. Maka itu, andaian yang mengatakan bahawa amat sukar untuk mendapatkan saksi yang adil untuk menjadi saksi kes Hudud sebenarnya juga seolah-olah mengandaikan bahawa hukum nikah kahwin dan solat berjemaah tidak lagi perlu dipraktikkan oleh umat Islam sekarang.  Tentunya ini merupakan andaian yang liar dan tidak benar.
Sekiranya Hudud mahu dilabelkan sebagai agenda golongan ekstrimis Islam, maka apakah semua orang yang bernikah kahwin mengikut syariat dan bersolat jamaah juga perlu dilabelkan sebagai ekstrimis Islam? Maka, siapa lagi sebenarnya di kalangan umat Islam yang bukan ekstrimis melainkan kesemua muslim yang baik akan digelar ekstrimis Islam belaka.
Salah faham seterusnya ialah apabila kita melihat hukum Hudud dalam bentuknya yang juz'i (stand alone) yang terpisah dari sistem jenayah syariah Islam secara keseluruhan.  Islam adalah sistem yang lengkap dan saling melengkapi (kamil wa mutakamil). Setiap elemen dari ajaran Islam tidak boleh diceraikan dari keseluruhan batang tubuh Islam itu sendiri, dan begitu jugalah halnya dengan hukum Hudud. Hukum Hudud dalam bentuknya yang juz'i (stand alone) tidak akan mampu melahirkan keadilan, dan keadaan ini telah dipergunakan sepenuhnya oleh golongan penentang Hudud untuk menggambarkan bahawa Hudud adalah zalim. Mereka menilai Hudud dalam bentuknya yang terpisah dari keseluruhan sistem kehakiman dan perundangan Islam, dan sememangnya Hudud yang diambil secara juz'i ini boleh disifatkan sebagai tidak adil atau zalim.
Contoh yang selalu dikemukakan adalah persoalan rogol. Dalam hukum Hudud, jenayah rogol adalah disamakan dengan jenayah zina. Tahap kesaksian dan hukumannya juga sama. Dalam Hudud juga, menuduh seseorang yang dikenali sebagai orang baik melakukan zina tanpa mendatangkan saksi yang berwibawa merupakan suatu kesalahan Qazaf yang boleh membawa hukuman sebanyak 80 rotan. Lalu diambil peruntukan-peruntukan hudud ini secara terpisah oleh penentang Hudud untuk menggambar betapa mangsa rogol akan dizalimi.Mereka mengandaikan bahawa seorang mangsa rogol perlu mendatang 4 orang saksi lelaki yang adil untuk membuat pengaduan atau menghadapi risiko kesalahan Qazaf. Ini, menurut andaian mereka, adalah menzalimi mangsa rogol dan melindungi perogol. Padahal, undang-undang yang melibatkan kes rogol perlu dirujuk kepada keseluruhan peruntukan undang-undang jenayah syariah secara lengkap (Hudud, Qisas, Takzir, Undang-undang keterangan, siasah syari'ah) dan tidak boleh dinilai dari perspektif hukum Hudud secara terhad dan terpisah.
Seseorang yang mengadu dirinya dirogol, sepertimana kes-kes biasa, perlu membuat lapuran polis dan melakukan pemeriksaan doktor. Ini prosedur biasa. Polis atau pegawai penyiasat akan melakukan penyiasatan berdasarkan lapuran dan keterangan yang diberikan. Sekiranya terdapat bukti yang kukuh bahawa kes rogol sememangnya telah berlaku, pegawai penyiasat akan menyerahkan lapuran kepada pihak pendakwa.
Sekiranya tahap kesaksian untuk pendakwaan dilakukan dalam hukum Hudud tidak mencukupi (tiada 4 orang saksi yang melihat kejadian tersebut), pihak pendakwa masih boleh mendakwanya di bawah undang-undang Takzir. Melalui peruntukan Takzir, beban pembuktian adalah lebih longgar dan hukumannya juga lebih ringan berbanding Hudud. Pemeriksaan doktor dan keterangan-keterangan serta bukti-bukti yang dikumpulkan oleh polis ini (DNA test, lapuran kesihatan, penilaian psychology, dll) dinamakan sebagai Qarinah. Qarinah boleh digunakan sebagai bahan bukti yang boleh mensabitkan kesalahan takzir ke atas perogol. Qarinah ini juga boleh mengelakkan mangsa rogol dari dakwaan Qazaf, kerana Qazaf merupakan kesalahan Hudud dan sebarang keraguan yang boleh ditimbulkan (melalui Qarinah) dalam kes Hudud boleh menggugurkan kes tersebut. Hukuman Hudud boleh dilakukan ke atas seseorang hanya apabila tiada sebarang keraguan langsung (beyond any shadow of doubt).  Manakala untuk kesalahan yang boleh dibuktikan secara jelas oleh Qarinah, tetapi tidak mencapai tahap kesaksian yang diperlukan oleh Hudud, hukum Takzir boleh dikenakan terhadap penjenayah tersebut.
Mengaitkan Qazaf dengan kes rogol secara mutlak adalah suatu andaian yang liar dan tidak adil. Hukum Qazaf berfungsi untuk melindungi maruah seseorang individu yang baik dari sebarang tuduhan melulu yang boleh menjatuhkan maruah diri dan keluarganya. Sekiranya, seseorang itu menuduh dirinya dirogol oleh seseorang, sedangkan bukti dan keterangan (Qarinah) yang dibawa menunjukkan sebaliknya, barulah ia boleh didakwa di bawah Qazaf. Contohnya, Minah menuduh Ali merogolnya sehingga mengandung, tetapi ujian DNA menunjukkan bahawa anak tersebut bukanlah dari benih Ali, maka Minah akan menghadapi risiko dakwaan Qazaf melainkan ada 4 orang saksi yang berwibawa yang melihat kejadian rogol tersebut, ataupun dapat dibuktikan secara Qarinah bahawa dia dirogol oleh ramai orang dan Ali adalah salah seorang daripada mereka. Tetapi, sekiranya ujian DNA mengesahkan bahawa anak tersebut memang jelas dari benih Ali, maka Ali boleh didakwa di bawah peruntukan Takzir, manakala Minah tidak akan dihukum di bawah Qazaf.  Dalam kes ini, Ali tidak didakwa di bawah Hudud kerana tahap kesaksian tidak menepati kehendak hukum Hudud, sebaliknya beliau akan dihukum di bawah undang-undang Takzir.
Dalam kata lain, sekiranya perkara ini dirujuk kepada keseluruhan rang undang-undang Hudud, Qisas, Takzir, Undang-Undang Keterangan, dan ditambah dengan kefahaman terhadap konsep Siasah Syariah, maka segala keraguan dan andaian liar terhadap Hudud atau mana-mana peruntukan dalam hukum Jenayah Syariah tidak sepatutnya berlaku.
Ibarat kata Tun Salleh Abbas, bekas Ketua Hakim Negara, yang juga salah seorang ahli panel Jawatankuasa Penyediaan Rang Undang-Undang Hudud dan Qisas, " Sekiranya undang-undang ini dilaksanakan dengan mendapatkan kerjasama semua pihak, kebanyakan masalah yang melibatkan sistem Perundangan dan Kehakiman negara dapat diselesaikan, di samping mencapai matlamat mengurangkan kadar jenayah dan kerosakan akhlak."
Kesilapan melihat peruntukan hukum jenayah syariah dalam bentuknya yang stand alone (juz'i) ini juga berlaku kepada pengkritik hukum Qisas. Mengikut peruntukan hukum Qisas, seorang pembunuh itu wajib dibalas bunuh melainkan beliau mendapat persetujuan dari waris mangsa untuk membayar diyat (gantirugi), ataupun pengampunan terus dari waris mangsa. Andaian yang sering dibuat oleh penentang Qisas ialah bahawa seorang pembunuh yang kejam dan merbahaya akan terlepas dari hukuman sekiranya waris mangsa bersetuju mendapat bayaran ganti rugi atau mengampunkan pembunuh tersebut. Sekiranya ini berlaku, pembunuh itu boleh terus membunuh mangsa-mangsa yang lain.
Sekiranya kita membaca peruntukan tersebut secara lengkap dan bersama dengan peruntukan-peruntukan yang lain, sebenarnya Hakim masih boleh menjatuhkan hukuman Takzir ke atas pembunuh itu, di samping hukum Qisas sekiranya pihak Mahkamah bersetuju bahawa pembunuh tersebut perlu dihukum bagi menjamin ketenteraman awam. Dalam kata lain, walaupun pembunuh tersebut mendapat pengampunan dari waris mangsa dari dijatuhkan hukuman bunuh balas (Qisas), beliau masih boleh dihukum penjara atau hukuman-hukuman lain yang setimpal dengan kesalahannya. Jadi, tidak timbul persoalan samada seseorang penjenayah itu dengan mudah boleh melepaskan diri dengan memberi rasuah kepada waris mangsa.
Seperkara lagi yang sering diabaikan dalam perbahasan berkenaan Hudud ialah peri pentingnya kefahaman terhadap Siasah Syar'iah di dalam perlaksanaan Undang-Undang Jenayah Syariah.  Kebanyakan mereka yang menentang Undang-Undang Hudud dan Qisas adalah terdiri dari kalangan mereka yang mempunyai kefahaman yang sangat terhad terhadap Siasah Syari'ah. Siasah Syar'iah amat penting bagi menghadapi kes-kes yang rumit dan spesifik.  Para Hakim dan Peguam Syari'ah adalah mereka yang terlatih di dalam ilmu Siasah Syari'ah. Ini penting agar keadilan sistem perundangan Islam dapat dilaksanakan.
Umpamanya penentang Hudud mempersoalkan tentang keperluan saksi lelaki di dalam kes-kes Hudud, dan bagaimana sekiranya kejadian rogol dilakukan di asrama wanita. Kes seperti ini boleh dirujuk kembali kepada perbicaraan terhadap pembunuhan Osman bin Affan, salah seorang Khalifah Islam. Saksi kepada pembunuhan tersebut ialah isteri Osman sendiri, dan tiada saksi lelaki. Hakim, menggunakan kaedah Siasah Syari'ah bagi membenarkan kesaksian dari kaum wanita kerana kes-kes tersebut memerlukan kesaksian mereka. Oleh kerana kesaksian beliau cukup kukuh dan tidak dapat dicabar di mahkamah, maka kesaksian tersebut diterima di dalam perbicaraan itu.
Begitulah juga dengan peristiwa yang berlaku di zaman pemerintahan Islam di mana terdapat seorang gadis yang mengandung lalu dibawa ke muka pengadilan. Gadis itu mempertahankan dirinya menyatakan bahawa beliau tidak tahu sesiapa yang merogolnya, tetapi menyebut bahawa beliau adalah seorang yang terlalu kuat tidur sehingga tidak sedar jika diperlakukan sesuatu yang tidak baik ke atasnya.  Memandangkan kes ini jarang berlaku, hakim telah membenarkan tertuduh mengemukakan beberapa saksi yang boleh mengesahkan dakwaannya bahawa beliau adalah seorang yang terlalu kuat tidur.  Setelah hakim berpuas hati dengan kesaksian bahawa gadis tersebut memang dikenali sebagai seorang wanita yang taat beragama serta berakhlak baik, dan kesaksian bahawa beliau memang seorang yang terlalu kuat tidur sehingga tidak sedar diperlakukan sesuatu ke atasnya ketika sedang tidur, maka hakim telah menggugurkan kes tersebut kerana terdapat keraguan yang munasabah bahawa gadis tersebut telah berzina secara sukarela.
Bagi mereka yang memahami persoalan Siasah Syar'iah secara mendalam, Hukum Hudud merupakan suatu sistem perundangan yang adil dan dinamik yang mampu menangani persoalan semasa selari dengan kemajuan saintifik dan perkembangan sosio-ekonomi masyarakat.  Sebenarnya, terlalu banyak kes-kes penghakiman di dalam sistem perundangan Islam yang mempu membuktikan bahawa sistem ini merupakan sistem yang adil dan dinamik, di samping menepati kehendak syara' seperti yang telah digariskan oleh Al-Quran dan Sunnah.
Umpamanya, kes rogol mungkin tidak berlaku paksaan secara fizikal semata-mata. Ia juga boleh berlaku melalui tipu muslihat lain seperti kaedah tekanan mental, perasaan, dan lain-lain. Seorang mangsa rogol umpamanya mungkin terpaksa menyerahkan dirinya kepada seseorang yang dianggap lebih berkuasa dan berpengaruh serta boleh menjejaskan kehidupan keluarganya dalam pelbagai sudut. Pembuktian kes-kes seperti tentunya lebih rumit dan memerlukan pendekatan Siasah Syari'ah yang lebih mendalam. Bagaimanapun, tentulah dangkal dan tidak benar untuk mengatakan bahawa  hukum Islam telah ketinggalan zaman sedangkan ianya telah terbukti mampu menjadi tunggak kehakiman ummah selama lebih seribu tahun sejak terdirinya kerajaan Islam di Madinah sehinggalah kepada kejatuhan Khalifah Othmaniah pada tahun 1924.
Apa yang menjadi masalah ialah ramai umat Islam hari ini yang sudah terpisah dengan pengamalan syariat Islam sehingga merasa cukup asing dan melihat hukum syariah dengan penuh prejudis dan kecurigaan, sedangkan mereka tidak mempunyai kefahaman yang mendalam berkenaan ilmu tersebut. Apatah lagi apabila masyarakat bukan Islam yang juga cuba menilai hukum ini dengan keilmuan sifar, secara tidak beradab mencela dan menghina hukum Islam. Wallahua'lam.

Ahad, 23 Januari 2011

Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak

Saat ini, poligami telah menjadi perdebatan yang sangat sengit di tengah kaum muslimin dan sampai terjadi penolakan terhadap hukum poligami itu sendiri. Dan yang menolaknya bukanlah tokoh yang tidak mengerti agama, bahkan mereka adalah tokoh-tokoh yang dikatakan sebagai cendekiawan muslim. Lalu bagaimana sebenarnya hukum poligami itu sendiri. Marilah kita kembalikan perselisihan ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah Ta’ala telah menyebutkan hukum poligami ini melalui wahyu-Nya yang suci, yang patut setiap orang yang mengaku muslim tunduk pada wahyu tersebut. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa’: 3).
Poligami juga tersirat dari perkataan Anas bin Malik, beliau berkata,”Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri.” (HR. Bukhari). Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Nikahilah wanita yang kalian suka selain wanita yang yatim tersebut. Jika kalian ingin, maka nikahilah dua, atau tiga atau jika kalian ingin lagi boleh menikahi empat wanita.” (Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Nashir As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Poligami ini dibolehkan karena terkadang seorang lelaki kepuasan seksnya belum terpenuhi bila dengan hanya satu isteri (karena seringnya isteri berhalangan melayani suaminya seperti tatkala haidh dan keuzuran siisteri). Maka Allah membolehkan untuk memiliki lebih dari satu isteri dan dibatasi dengan empat isteri. Dibatasi demikian karena biasanya setiap orang sudah merasa cukup dengan empat isteri, dan jarang sekali yang belum merasa puas dengan yang demikian. Dan poligami ini diperbolehkan baginya jika dia yakin tidak berbuat aniaya dan kezaliman (dalam hal pembagian giliran dan nafkah) serta yakin dapat menunaikan hak-hak isteri. (Taisirul Karimir Rohman)

Sebenarnya ramai lelaki masa kini yang berhajat dan bercita-cita untuk berpoligami tetapi terhalang disebabkan perkara-perkara berikut :-
1-     Tiada kebenaran Isteri
2-     Tidak berharta.
3-     Perlu mendapat kebenaran Mahkamah Syariah.

Perkara berikut juga telah menjadi syarat utama di Malaysia jika anda ingin berpoligami. Tapi adakah syarat-syarat ini selaras dengan syariat Islam? Bukankah suami itu ketua keluarga dan dia yang perlu membuat keputusan dalam urusan rumahtangganya? Bukankah rezeki itu dari Allah dan telah ditentukan kepada setiap orang? Bagaimana jika syarat-syarat tersebut akan menyebabkan kerosakan akhlak dalam masyarakat jika poligami terhalang? Apakah hukumnya orang yang telah mengubah hukum Allah sesuka hati ini?

Jangan biarkan orang-orang kafir mempersendakan kita akibat daripada pertikaian kita sendiri terhadap apa yang kita percaya. Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman terhadap apa yang beliau bawa. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Do’a hamba-Nya.

Jumaat, 21 Januari 2011

Isu Pengharaman Rokok

Isu rokok telah lama dibincangkan sejak bertahun-tahun dulu. Pelbagai fatwa telah dikeluarkan oleh pelbagai pihak mengenai isu pengharaman rokok. Ramai yang telah mengambil inisiatif untuk berhenti merokok dan ramai juga yang tidak menghiraukannya malah ada perokok-perokok baru yang mula menceburi bidang perokokan ini. Sebenarnya telah lama saya tertanya-tanya mengenai isu pengharaman rokok ini. Apakah asasnya mereka mengeluarkan fatwa bahawa rokok itu haram?
Seorang kawan saya yang belajar di Al-Azhar Mesir pernah berbahas dengan lecturernya mengenai isu pengharaman rokok ini. Rokok itu dikatakan haram oleh sesetengah pihak kerana faktor-faktor berikut :-
1- Memudaratkan diri/ kesihatan.
2- Membazir.
3- Tidak berfaedah.
Walaubagaimanapun perkara ini tidak pernah dibahaskan dan adakah betul rokok membawa ciri-ciri berikut? Bagaimana pula jika saya katakan bahawa ada perkara lain yang juga mempunyai ciri yang sama tetapi dihalalkan pula. Kenapa?